Kamis, 17 Oktober 2019

ARTIKEL. TANJUNG PRIOK


Sejarah Tragedi Tanjung Priok: Kala Orde Baru Menghabisi Umat Islam

Penulis: Iswara N Raditya
12 September 2019
Sejarah Tragedi Tanjung Priok: Kala Orde Baru Menghabisi Umat Islam
Menurut Abdul Qadir Djaelani, bentrok antara umat Islam dengan aparat di Tanjung Priok pada 12 September 1984 menewaskan ratusan orang.
tirto.id - Tanggal 12 September 1984, tepat hari ini 35 tahun silam, adalah titi mangsa yang begitu kelabu bagi umat muslim. Di Tanjung Priok, Jakarta Utara, darah tumpah. Dari percik pemantik beberapa hari sebelumnya, polemik berpuncak pada tetesan darah pada 12 September 1984. Pecahlah kerusuhan yang melibatkan massa Islam dengan aparat pemerintah Orde Baru (Orba). Korban tewas nyaris seluruhnya meregang nyawa lantaran diterjang timah panas dari senapan tentara.
Pertumpahan darah sesama anak bangsa itu bermula dari penerapan Pancasila sebagai asas tunggal yang mulai gencar digaungkan sejak awal 1980-an. Semua organisasi di bumi Nusantara wajib berasaskan Pancasila, tidak boleh yang lain. Artinya, siapapun yang tidak sejalan dengan garis politik rezim Orba maka layak dituduh sebagai anti-Pancasila (Tohir Bawazir, Jalan Tengah Demokrasi, 2015: 161).

Mereka yang Dituding Subversif

Di tengah suasana yang terkesan represif itu, terdengar kabar dari langgar kecil di pesisir utara ibukota. Abdul Qadir Djaelani, seorang ulama sekaligus tokoh masyarakat Tanjung Priok, disebut-sebut kerap menyampaikan ceramah yang dituding aparat sebagai provokatif dan berpotensi mengancam stabilitas nasional.
Dari situlah kejadian berdarah itu bermula. Dalam eksepsi pembelaannya di pengadilan, Abdul Qadir Djaelani menyampaikan kesaksian yang barangkali berbeda dengan versi “resmi" pemerintah Orde Baru.
Selepas subuh usai peristiwa Tanjung Priok, Djaelani dijemput aparat untuk dihadapkan ke meja hijau. Akhir 1985, pengadilan menjatuhkan vonis terhadap mantan Ketua Umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) itu. Djaelani dihukum penjara 18 tahun dengan dakwaan telah melakukan tindak pidana subversi melalui ceramah, khotbah, dan tulisan-tulisannya (Tempo, Volume 23, 1993:14).
Selain Djaelani, persidangan juga menyeret sejumlah tokoh cendekiawan Islam lainnya seperti AM Fatwa, Tony Ardi, Mawardi Noor, Oesmany Al Hamidy, Hasan Kiat, dan lainnya, yang dituding sebagai “aktor intelektual" bentrokan tersebut.
Setidaknya ada 28 orang yang diadili dalam rangkaian sidang yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan itu. Majelis hakim menyatakan seluruh tertuduh dinyatakan bersalah, dan dijatuhi sanksi bui yang lamanya bervariasi, hingga belasan tahun seperti yang dikenakan kepada Djaelani.
Djaelani sempat menyampaikan eksepsi pembelaannya di pengadilan, termasuk kronologi yang mengiringi insiden berdarah Tanjung Priok pada 12 September 1984 itu. Kesaksian Djaelani ini lalu diterbitkan dalam buku yang judulnya sama dengan judul eksepsi pembelaannya di pengadilan (A.Q. Djaelani, Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia: Sebuah Pembelaan, 1985).

Pemantik Bentrok di Tanjung Priok

Dalam eksepsi pembelaannya, Djaelani menceritakan awal mula perselisihan warga kontra aparat itu. Sabtu, 8 September 1984, dua Bintara Pembina Desa (Babinsa) dari Koramil datang ke Musala As-Sa’adah di Gang IV Koja, Tanjung Priok. Mereka memasuki area tempat ibadah tanpa melepas sepatu dengan maksud mencopot pamflet yang dianggap berisi ujaran kebencian terhadap pemerintah.
Djaelani menyebut kedua Babinsa itu memakai air comberan dari got untuk menyiram pamflet tersebut. Dalam persidangan, hal ini diakui oleh Hermanu, salah seorang anggota Babinsa pelakunya yang dihadirkan sebagai saksi, dengan dalih:
"… pamflet-pamflet itu ditulis dengan pilox yang tidak bisa dihapus dan tidak ada peralatan di tempat itu untuk dipakai menghapusnya. Maka, tidak ada cara lain kecuali menyiramnya dengan air comberan." (Irfan S. Awwas, ed., Bencana Umat Islam di Indonesia Tahun 1980-2000, 2000:30).
Kelakuan dua Babinsa ini segera menjadi kasak-kusuk di kalangan jemaah dan warga sekitar kendati masih menahan diri untuk tidak langsung merespons secara frontal. Namun, tidak pernah ada upaya nyata dari pemerintah atau pihak-pihak yang berwenang untuk segera menyelesaikan masalah ini secara damai sebelum terjadi polemik yang lebih besar.
Dua hari kemudian, masih dari penuturan Djaelani, terjadi pertengkaran antara beberapa jemaah musala dengan tentara pelaku pencemaran rumah ibadah. Adu mulut itu sempat terhenti setelah dua Babinsa itu diajak masuk ke kantor pengurus Masjid Baitul Makmur yang terletak tidak jauh dari musala. Namun, kabar telah terlanjur beredar sehingga masyarakat mulai berdatangan ke masjid.
Situasi tiba-tiba ricuh karena salah seorang dari kerumunan membakar sepeda motor milik tentara. Aparat yang juga sudah didatangkan segera bertindak mengamankan orang-orang yang diduga menjadi provokator. Empat orang ditangkap, termasuk oknum pembakar motor. Penahanan tersebut tak pelak membuat massa semakin kesal terhadap aparat.
Namun, kata Djaelani, masyarakat masih mencari cara agar persoalan ini tidak harus melibatkan massa dalam jumlah besar. Keesokan harinya, tanggal 11 September 1984, jemaah meminta bantuan kepada Amir Biki untuk merampungkan permasalahan ini. Amir Biki adalah tokoh masyarakat yang dianggap mampu memediasi antara massa dengan tentara di Kodim maupun Koramil.

Massa Islam vs Aparat Negara

Amir Biki segera merespons permintaan jemaah itu dengan mendatangi Kodim untuk menyampaikan tuntutan agar melepaskan 4 orang yang ditahan. Namun, ia tidak memperoleh jawaban yang pasti, bahkan terkesan dipermainkan oleh petugas-petugas di Kodim itu (Kontras, Mereka Bilang di Sini Tidak Ada Tuhan: Suara Korban Tragedi Priok, 2004:19).
Merasa dipermainkan, Amir Biki kemudian menggagas pertemuan pada malam harinya untuk membahas persoalan serius ini. Para ulama dan tokoh-tokoh agama dimohon datang, undangan juga disebarkan kepada umat Islam se-Jakarta dan sekitarnya. Forum umat Islam itu dimulai pada pukul 8 malam dan berlangsung selama kurang lebih 3 jam.
Amir Biki sebenarnya bukan seorang penceramah. Namun, oleh jemaah yang hadir, ia didesak untuk menyampaikan pidato dalam forum tersebut. Amir Biki pun naik ke mimbar dan berseru:
“Kita meminta teman-teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya!"
“Kita tidak boleh merusak apapun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita," lanjut Amir Biki mengingatkan para jemaah, seperti dituturkan Abdul Qadir Djaelani dalam persidangan.
Lantaran permohonan pembebasan 4 tahanan itu tetap tidak digubris hingga menjelang pergantian hari, maka paginya, 12 September 1984, sekitar 1.500 orang bergerak, sebagian menuju Polres Tanjung Priok, yang lainnya ke arah Kodim yang berjarak tidak terlalu jauh, hanya sekira 200 meter.

Kontroversi Jumlah Korban

Massa yang menuju Polres ternyata sudah dihadang pasukan militer dengan persenjataan lengkap. Bahkan, tidak hanya senjata saja yang disiapkan, juga alat-alat berat termasuk panser (Kontras, 2004: 20). Peringatan aparat dibalas takbir oleh massa yang terus merangsek. Para tentara langsung menyambutnya dengan rentetan tembakan dari senapan otomatis.
Korban mulai bergelimpangan. Ribuan orang panik dan berlarian di tengah hujan peluru. Aparat terus saja memberondong massa dengan membabi-buta. Bahkan, seorang saksi mata mendengar umpatan dari salah seorang tentara yang kehabisan amunisi. “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!" (Tanjung Priok Berdarah: Tanggung Jawab Siapa?, 1998: 32).
Dari arah pelabuhan, dua truk besar yang mengangkut pasukan tambahan datang dengan kecepatan tinggi. Tak hanya memuntahkan peluru, dua kendaraan berat itu juga menerjang dan melindas massa yang sedang bertiarap di jalanan. Suara jerit kesakitan berpadu dengan bunyi gemeretak tulang-tulang yang remuk. Pernyataan Djaelani di pengadilan mengamini bahwa aksi brutal aparat itu memang benar-benar terjadi.
Kejadian serupa dialami rombongan pimpinan Amir Biki yang menuju Kodim. Aparat meminta 3 orang perwakilan untuk maju, sementara yang lain harus menunggu. Ketika 3 perwakilan massa itu mendekat, tentara justru menyongsong mereka dengan tembakan yang memicu kepanikan massa. Puluhan orang tewas dalam fragmen ini, termasuk Amir Biki (Ikrar Nusa Bhakti, Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru, 2001: 56).
Tidak diketahui secara pasti berapa korban, baik yang tewas, luka-luka, maupun hilang, dalam tragedi di Tanjung Priok karena pemerintah Orde Baru menutupi fakta yang sebenarnya. Panglima ABRI saat itu, L.B. Moerdani, mengatakan bahwa 18 orang tewas dan 53 orang luka-luka dalam insiden tersebut (A.M. Fatwa, Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok, 2005: 123).
Namun, pernyataan Panglima ABRI tersebut sangat berbeda dengan data dari Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok (Sontak) yang juga didukung oleh kesaksian Djaelani. Lembaga ini menyebut bahwa tidak kurang dari 400 orang tewas dalam tragedi berdarah itu, belum termasuk yang luka dan hilang (Suara Hidayatullah, Volume 11, 1998: 67).
Presiden Republik Indonesia yang berkuasa kala itu, Soeharto, tampaknya tidak pernah menyesalkan terjadinya peristiwa Tanjung Priok 1984 itu. Dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang terbit 4 tahun setelah insiden memilukan tersebut, sang penguasa berucap:
“Peristiwa Tanjung Priok adalah hasil hasutan sejumlah pemimpin di sana. Melaksanakan keyakinan dan syariat agama tentu saja boleh. Tetapi kenyataannya ia mengacau dan menghasut rakyat untuk memberontak, menuntut dikeluarkannya orang yang ditahan. Terhadap yang melanggar hukum, ya tentunya harus diambil tindakan."
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 12 September 2017 dengan judul "Mengenang 33 Tahun Tragedi Pembantaian Tanjung Priok". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
(tirto.id - isw/ivn)

Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia AhsanZen RS
Peristiwa Tanjung Priok 1984 diperkirakan menewaskan tidak kurang dari 400 orang umat Islam


Pertanyaan :
1. Bagaimana latar belakang terjadinya tanjung priok? 
2. Apa yang memicu kejadian tanjung priok yang dilakukan oleh masyarakat di desa dan polisi? 
3. Sebutkan dan jelaskan tanggal terjadinya tanjung priok berturut turut
4. Berapa korban yang jatuh dalam peristiwa tanjung priok? 
5. Mengapa polisi ikut dalam kejadian tanjung priok? Jelaskan! 
© 2019 tirto.id - All Rights Reserved.

Kamis, 22 Agustus 2019

Pengaruh positif dan negatif iptek di bidang sosial budaya serta cara mengatasinya

ALON ALON CREW DONG



Kelompok 4 
Nama kelompok :
1.Tiara Eka Jenny
2.Lailatul maghfiroh
3.Indah sulistyowati
4.Nanang Taufiq H
5. Valdemar Stg
Kelas : XII MIA 3


Biodata dari anggota kami....  Yuk simak.





1.indah suliatyowati
 *hobi* : Menulis
 *Pengalaman*: Mengikuti perlomban puisi tingkat nasional. Meski gagal tapi masih berusaha menjadi yang terbaik dari tulisan sebelumnya.
 *Ttl*: Mojokerto,  26 november 2001






2.lailatul mahfiroh
 *Hobi* : bermain handpone
 *Pengalaman* :Bisnis,  ya bisnis itu adalah Pengalamanku hal yang bisa aku lakukan untuk mendapat tambahan uang jajan wkwkwk. Bisnisku adalah ollshop.
 *Ttl*: Mojokerto, 25 november 2001




3 Nanang taufiq hidayat.
 *Hobi* : olahraga
 *Pengalaman*: Pengalamanku adalah dapat mengikuti turnamen di DBL dan bisa masuk 16 besar,  walaupun 16 besar aku tetap bangga kepada diriku sendiri dan teman temanku karena kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti turnamen di DBL dan masuk 16 besar pun aku bersyukur karena bisa merasakan bermain di DBL di akhir kegiatanku yang sekarang sudah kelas 12.
 *Ttl*:Mojokerto, 06 Agustus 2001





4. Tiara eka jenny zakaria.
 *Hobi* : mendengarkan musik
 *Pengalaman* : saat aku mengikuti test toefl adalah yang paling tidak terlupakan karena waktu itu aku bisa merasakan naik bus sekolah dan bersama teman temanku walaupun bukan satu kelas dan hal yang paling menyenangkan bagiku adalah aku masuk 100 besar dan itu adalah pertama kali bagiku tanpa belajar dan aku bersyukur akan hal itu.
 *Ttl* : Pasuruan,  07 januari 2002.






5. Valdemar setya gunawan.
 *Hobi* : bermain musik
 *Pengalaman* : ikut serta dalam kontes bermain musik sejatim
 *Ttl*:.... ,  14 Mei 2002




*********************




  • Tugas pkn

PENGARUH POSITIF DAN NEGATIF IPTEK DALAM BIDANG SOSIAL DAN BUDAYA  SERTA CARA MENGATASINYA









I.Permasalahan

Kehidupan manusia di era ini memang tidak dapat dilepaskan dari teknologi. Hampir seluruh aspek kehidupan manusia erat kaitannya dengan teknologi. Mulai dari bangun tidur, beraktivitas hingga tidur lagi. Semuanya berhubungan dengan teknologi.Teknologi dimanfaatkan manusia untuk memudahkan manusia dalama memenuhi kebutuhan hidupnya di berbagai hal. Dengan teknologi segalanya menjadi lebih mudah dan produktif. Tak hanya itu, dengan teknologi manusia dapat mengefektifkan serta mengefisienkan waktu, tenaga serta biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi, sudah bukan hal yang tabu lagi jika manusia zaman sekarang menginginkan segalanya serba instan.

Inti dari teknologi adalah media. Semua media yang dapat memudahkan manusia dalam mengerjakan dan memenuhi kebutuhan hidupnya dikatakan teknologi. Ya, itulah makna hal dari teknologi yang paling penting, media atau  produk teknologi. Bagaimana media tersebut dapat dijalankan atau dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan pengoperasian yang mudah untuk menghasilkan produk yang sebaik mungkin dan memerlukan waktu, tenaga dan biaya seminim mungkin.


Kemajuan teknologi tidak akan dapat dimanfaatkan dan dikembangkan tanpa adanya publikasi. Teknologi yang satu ini sangat berkaitan dengan mobilitas kehidupan manusia di era teknologi ini. Beberapa contoh media teknologi informasi dan komunikasi diantaranya adalah ponsel, televisi, radio dan komputer. Maka tak heran jika perkembangan teknologi informasi dan komunikasi pun melaju secara signifikan dan dapat dikatakan sangat cepat.

TIK memegang peranan yang besar terhadap aktivitas kehidupan manusia.

Salah satu aktivitas tersebut adalah dalam bidang sosial dan budaya. Bidang ini erat kaitannya dengan hubungan timbal balik manusia dengan lingkungannya, hal sensitif yang dapat mempengaruhi aspek-aspek lain dalam kehidupan. Dalam hal sosial dan budaya, TIK memberikan dampak yang tak sedikit, baik dampak positif maupun negatif.

Dampak positif diantaranya adalah:

1. Informasi yang ada di masyarakat dapat langsung dipublikasikan dan diterima oleh masyarakat.
Sumber informasi tidak hanya berasal dari satu orang saja. Dalam masyarakat, semua orang dapat menjadi sumber informasi. Setiap orang dapat saling bertukar informasi satu sama lain. Informasi itu pun menyebar sampai kepada seluruh lapisan masyarakat dengan cepat melalui media-media TIK yang ada.

2. Hubungan sosial antar masyarakat dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja.




A berada di kota Bandung dan B berada di kota Makassar. Mereka berkomunikasi melalui ponsel. Mereka saling mengabarkan kondisi satu sama lain dan saling bertukar cerita. Itulah sedikit gambaran pemafaatan TIK dalam hubungan interaksi sosial. Walaupun berjauhan dan berada dalam zona waktu yang berbeda, mereka tetap dapat berkomunikasi dan saling bertukar informasi.

3. Sosialisasi kebijakan pemerintah dapat lebih cepat disampaikan kepada masyarakat.
Peraturan pemerintah serta kebijakannya dapat keluar pada waktu yang tidak dapat diprediksi. Masa berlakunya pun kadang bersifat tentatif. Masyarakat pun sering dibingungkan oleh masalah ini. Karena keterlambatan info, masyarakat dirugikan oleh hal ini. Oleh karena itu, publikasi kebijakan serta peraturan pemerintah memerlukan media TIK, misalnya televisi, radio dan internet. Dengan begitu, masyarakat dapat dengan mudah dan cepat mengetahui peraturan dan kebijakan pemerintah yang sudah maupun baru keluar.

4. Tumbuhnya sikap percaya diri dan motivasi tinggi.




Masyarakat memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan adanya TIK. Hal ini dibuktikan dari fakta-fakta yang ada di dunia maya, misalnya jejaring sosial. Mereka berani tampil secara terbuka, baik kepada orang yang dikenalnya bahkan yang tidak kenal sama sekali. Mereka mengekspos pribadinya dengan memberikan informasi-informasi yang sedang terjadi, baik itu penting atau tidak. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan dan menyampaikan info terkini, hal ini juga dapat memperlihatkan tingkat kompetensi antar individu pun semakin besar.

5. Adanya “share” budaya antar daerah.









Kebudayaan dimiliki oleh setiap kelompok dari setiap daerah dalam setiap bangsa. Tidak hanya dengan penampilan atau pertunjukkan saja budaya itu dipublikasikan. Dengan TIK pun, antar kelompok masyarakat dapat menyampaikan kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing untuk kemudian dipelajari dan dilestarikan. Tidak hanya dalam satu Negara, tetapi dapat juga antar Negara.

Dampak negatif tersebut diantaranya adalah:

1. Timbulnya jenis kejahatan baru.








Kejahatan yang timbul antara lain penipuan, pencurian nomor kartu kredit, pornografi, pengiriman email sampah (spam), pengiriman virus, penyadapan saluran telepon, memata-matai aktivitas seseorang (spyware), dan mengacaukan trafik jaringan. Kejahatan-kejahatan ini sulit dideteksi karena dikerjakan dengan fasilitas TIK, salah satunya internet.

2. Maraknya perilaku menyimpang yang terjadi di kalangan masyarakat pada umumnya dan remaja pada khususnya.







Perilaku menyimpang disebabkan oleh merosotnya moral yang ada di masyarakat. Kurangnya filterisasi akan informasi serta budaya yang diterima dari TIK menjadi faktor pokok timbulnya permasalahn ini. Hal yang seharusnya salah justru dibenarkan dan yang benar justru disalahkan. Perilaku yang melawan norma yang ada di masyarakat pun kian merebak, tak hanya pada kalangan remaja atau pelajar saja yang memang masih labil, tetapi juga pada masyarakat “dewasa”.

3. Menurunnya tingkat kepercayaan kepada lingkungan sekitar.
Kemudahan akses informasi semakin melemahkan rasa percaya pada orang-orang sekitar. Banyak orang justru lebih men-”dewa”-kan internet (khususnya) untuk mencari informasi dibandingkan bertanya langsung pada orang sekitar yang secara umum mengetahui. Atau bahkan mereka pun kadang sudah sulit sekali percaya pada polisi lalu lintas untuk menanyakan jalan sekalipun. Rasanya kalau tidak “googling” tidak afdol.

4. Kurangnya ruang privasi.
Hadirnya situs-situs jejaring sosial tidak hanya membantu untuk menghubungkan individu yang satu dengan yang lain atau dengan kelompoknya. Layanan ini memberikan penggunanya kebebasan untuk membuka diri dan melihat-lihat info serta privasi orang lain. Privasi bukan lagi menjadi barang mahal.

5. Masuknya budaya asing yang kurang baik dan tidak difilter.
Banyak budaya asing, baik penampilan maupun gaya hidup, yang masuk ke kelompok-kelompok masyarakat. Tidak hanya budaya baik yang ada, tetapi budaya yang kurang baik pun dapat masuk dan lambat laun apabila tidak difilter secara dini, budaya tersebut bukannya membangun tapi malah justru mengerogoti budaya asli yang ada di kelompok tersebut.

6. Meningkatnya angka pengangguran.
Masalah yang satu ini sangat menarik perhatian. Kini, teknologi seolah-olah menggantikan manusia dalam segala bidang, termasuk pekerjaan. Kreatifitas manusia pun menjadi tumpul. Mereka menjadi tergantung akan teknologi. Hampir semua pekerjaan dilakukan oleh mesin-mesin otomatis. Sehingga makin banyak pengangguran karena tenaga mereka tergantikan oleh mesin-mesin otomatis tersebut.

II. Landasan Teori

Masyarakat dan lingkungannya bergerak dinamis. Mereka dapat berubah-ubah. Mereka dapat berkembang, maju atau bahkan mengalami keterpurukan. Dan semua itu dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun eksternal.Dalam lingkungan sosial yang dinamis ini, setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi perubahan sosial, yaitu pelaku perubahan dan objek yang terkena dampak perubahan itu sendiri. Dalam hal ini, TIK dapat berperan dalam dua posisi sekaligus, yakni sebagai pelaku pengubah dan sekaligus sebagai sasaran dari perubahan yang ingin dicapai.

Hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tak tersentuh lewat “jalan tol informasi”, yakni komputer dan internet. Kecanggihan suatu teknologi memang tidak menjamin penggunanya mendapatkan hal positif 100%, tetapi ada hal lain yang dapat menyebabkan penggunanya secara tidak langsung terkena imbas negatif komputer sekalipun dia tidak menyadarinya.




Aspek teknologi menjadi pertimbangan utama sehingga aspek sosial berkomputer dan berinternet cenderung tersisihkan. Artinya, masyarakat kita belum memiliki kesiapan secara cultural untuk menghadapi serbuan nilai-nilai baru yang tadinya tidak terlalu merisaukan.Di satu sisi teknologi dianggap sebagai alat yang menawarkan kemudahan dan pada gilirannya memberikan kemakmuran, tetapi di sisi lain karena kemampuannya memberikan kemakmuran, teknologi menjadi tujuan masyarakat agar dapat memilikinya.Hubungan antara alat dan tujuan menjadi pangkal dari fenomena sosial yang muncul dalam perkembangan teknologi. Sebagai alat, teknologi hanyalah barang mati yang peran nyatanya sangat ditentukan oleh manusia yang mengendalikannya.Jika pengendaliannya memiliki integritas yang tinggi terhadap lingkungan sosialnya, maka teknologi akan bermanfaat bagi masyarakat, begitupun sebaliknya. Dalam hubungannya sebagai tujuan, tak dapat dihindarkan bahwa teknologi tertentu menjadi dambaan individu, masyarakat atau bahkan negara untuk memilikinya dan atau berhasil menguasainya.Di antara bermacam teknologi, di tengah konteks pergulatan antara kemajuan di bidang sosial dan teknologi serta interaksi saling pengaruh diantara keduanya, TIK mempunyai peran sentral. Apa saja yang terjadi di berbagai bagian di muka bumi ini menjadi semakin cepat tersebar dan mudah diketahui dengan pemanfaatan TIK. Semua ini menjadikan TIK sebagai agen perubahan yang mampu mengubah tatanan sosial kehidupan manusia di dunia.

III. Metode Pemecahan Masalah

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, TIK memberikan dampak yang tak sedikit pada tatanan sosial dan kehidupan masyarakat. Banyak masalah yang timbul akibat penyalahgunaan TIK, tetapi banyak juga manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dari TIK itu sendiri.Dilema memang. Satu sisi teknologi membantu, tetapi di sisi lain justru bias menjatuhkan. Tidak ada yang salah dari TIK. Tidak ada yang salah juga dari masyarakat. Kita tidak dapat menyalahkan kedua hal tersebut tanpa hal yang jelas. Karena dengan begitu masalah yang timbul tidak akan terselesaikan sampai kapanpun karena memang tidak aka nada ujung pangkal yang jelas.Ini merupakan permasalahan yang timbul dari dua rumpun ilmu yang berbeda. Dan merupakan masalah yang cukup kompleks. Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk sedikit demi sedikit memecahkan masalah yang cukup pelik ini. Kita dapat menggunakan pendekatan pemecahan masalah multidisipliner/interdisipliner, khususnya pendekatan krosdisipliner.

Pendekatan pemecahan masalah tersebut menggunakan tinjauan berbagai sudut pandang  dua atau lebih ilmu dalam dua atau lebih rumpun ilmu yang relevan. Dalam hal ini, kita dapat menggunakan rumpun ilmu sosial, budaya dan kealaman (yang di dalamnya termasuk teknologi).

Metode pemecahan masalah yang dapat dilakukan salah satunya adalah metode inquiri. Metode ini menekankan pada penyelidikan terhadap suatu masalah dan memecahkannya secara ilmiah.

Dengan menggunakan metode ini suatu masalah yang semula masih kabur atau samar-samar menjadi jelas. Dalam cara kerjanya metode ini menawarkan dan menempuh tahapan tertentu dalam memecahkan masalah.

Tetapi, pada asaanya pemecahan masalah mencakup lima tahapan atau langkah esensial, yaitu merasakan adanya masalah, merumuskan masalah, menentukan anggapan dasar dan jawaban sementara, mengumpulkan data dan menguji jawaban sementara, serta membuat kesimpulan dan rekomendasi.

IV. Cara Mengatasinya

Semua masalah memiliki solusi pemecahan masalahnya sendiri. Tidak ada masalah yang tidak memiliki solusi. Begitupun dengan permasalah yang timbul akibat TIK dalam bidang sosial dan budaya.

Beberapa solusi untuk menanggulangi serta memecahkan permasalahan TIK dalam bidang sosial dan budaya diantaranya adalah:

1.Adanya perlindungan hukum terhadap privasi seseorang.

2.Perlunya undang-undang yang mengatur transaksi elektronik

3.Mengkorelasikan antara kreatifitas manusia dan teknologi.

4.Perlunya filter dalam penerimaan budaya asing.

5.Meningkatkan pengawasan orang tua terhadap anaknya tanpa pelarangan penggunaan TIK.

6.Sosialisasi mengenai pemanfaatan TIK yang benar dari pihak-pihak yang memiliki kompetensi di bidangnya.

V.  KESIMPULAN DAN SARAN 

A. kesimpulan
     Pengaruh positif  sosial budaya adalah mudah mendapatkan informasi, membangun rasa percaya diri dan motivasi,  bisa berbagi sesama budaya. Dan pengaruh negatif sosial budaya adalah muncul kejahatan baru misalnya : pembobolan akun,  penipuan online, penyadapan dsb.

B.  Saran
      Sebagai seorang pelajar ataupun masyarakat kita harus bisa menjadi seseorang yang cerdas untuk menilai sisi baik buruk sosial budaya.


VI. DAFTAR PUSTAKA

Karim. Abdul.2013. Pengaruh Iptek Dalam Bidang Sosial Budaya

JANGAN BERHENTI BERMIMPI

        JANGAN BERHENTI BERMIMPI Semua orang memiliki impian tapi tidak semua orang dapat menjadikannya kenyataan. Ada yang memiliki banyak ...